Pertama kali menginjakan kaki di SD negeri Atti, Diana disambut sebuah gedung sekolah yang sangat memprihatinkan. Anak-anak datang ke sekolah tanpa seragam dan kaki telanjang. Dok: Diana Cristina
“ Sebelum kita tes untuk program guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) pihak panitia dari UGM sudah menyampaikan kondisi di Mappi itu seperti apa. Daerahnya rawa. Awalnya yang saya bayangkan kondisi sesungguhnya tidak seperti yang saya alami sekarang. Sampai di Kabupaten Mappi saya merasa masih biasa saja. Namun setelah sampai di kampung saya langsung tidak bisa lagi berkata-kata, sangat berbeda dengan yang saya bayangkan. Berbeda jauh dengan tempat tinggal saya, mereka tinggal di atas panggung kayak semacam anak katak. Saya benar-benar kaget. Dengan keadaan itu saya memiliki tekad, saya harus disini. Anak-anak pedalaman Mappi membutuhkan saya. Dalam hati muncul dorongan, harus bertahan, harus bertahan. Ini adalah panggilan, panggilan dari hati saya yang paling dalam,” Isak tangis Diana Cristina pecah dalam sebuah wawancara TVRI Papua lima tahun silam. Perjuangan dan dedikasinya untuk pendidikan adalah jejak langkah penuh makna dalam menumpas keterbelakangan di Tanah yang Tak Terjamah, Pedalaman Papua.
Jejak Langkah Perjuangan Diana Cristina
Diana Cristiana mengantar pulang salah satu muridnya usai pulang sekolah dengan menggunakan sebuah perahu. Dok papuasatu.com
Diana melangkah dengan hati-hati dalam sebuah jembatan setapak yang tampak usang. Di bawahnya ada rawa yang terlihat cukup dalam dengan warna air keruh. “ Saya Diana Cristina, Saya seorang guru penggerak di daerah terpencil di Kabupaten Mappi, Provinsi Papua Selatan. Kebetulan saya bertugas di kampung Atti sejak dua tahun lalu. Kampung Atti memiliki akses yang sulit di jangkau. Karena melewati dua jembatan yang ekstrim, benar-benar menguji mental. Jika tidak tahu berenang, siap-siap jatuh ke dalam air dan menyelamatkan diri masing-masing. Namun kampung Atti memiliki pemandangan yang indah luar biasa. Kita bisa menikmati senja di sore hari dengan suasana hening,” begitulah Diana Cristina memperkenalkan diri di kanal Youtube pribadinya, dengan senyum dan semangat walaupun banyak tantangan dan keterbatasan yang dihadapi dalam mengabdi.
Petualangan seorang pahlawan pendidikan dari ujung timur Indonesia berawal dari tahun 2018. Sejak usianya masih terbilang belia, 23 tahun. Saat anak-anak muda seusianya enggan mengabdi ke pedalaman untuk berjuang menyelamatkan generasi terbelakang. Tanpa gemerlap lampu-lampu kota dan teknologi yang memberikan berbagai kemudahan. Namanya adalah Diana Cristina Da Costa Ati, salah satu Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Program Guru Penggerak Daerah Terpencil adalah program inisiatif Bupati Mappi periode 2017-2022, Kristosimus Yohanes Agawemu. Dimana beliau bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Gugus Tugas Papua. Diana lahir di Timor Leste, seorang lulusan sarjana dari Nusa Cendana, jurusan pancasila dan kewarganegaraan. Kecintaannya terhadap Indonesia dibuktikan dengan memilih menjadi warga negara saat jajak pendapat diberlakukan tahun 1998 silam.
Diana saat bertugas di SD Inpres Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi. Dok: Diana
“Saya asli orang Timor Leste bercampur Atambua , tapi saya cinta Merah Putih. Ayah saya kembali memilih Timor leste, tetapi saya dan ibu memilih Indonesia pada saat jejak pendapat. Dan terpaksa Saya dan Ibu harus berpisah dengan Ayah sampai sekarang. Kami hanya bertemu di pintu batas,” tulis Diana di akun Facebook pribadinya.
November 2018 bersama tiga rekannya Diana memulai jejak langkah pertama dalam sebuah ruangan kelas yang jauh dari kata layak. Beberapa siswa duduk dan berdiri dengan seragam sekolah dasar tanpa alas kaki. SD Inpres Kaibusene Distrik Haju, Kabupaten Mappi, disanalah Diana mengajar. Ia dengan tegas dan lantang menyuarakan semangat kepada anak-anak untuk menunjukan kecintaan mereka terhadap merah putih. Tangis pilu Diana menyeruak pertama kali ia mengabdi di pedalaman Mappi. Semua anak dalam kelas tidak ada satu pun yang bisa menyebutkan identitas Indonesia. Mereka tak bisa menyebutkan bendera Indonesia. Justru anak-anak hanya mengetahui bendera Bintang Kejora. Murid kelas 6 tak satupun yang tahu lagu Indonesia raya.Tak ada yang hafal dengan pancasila.
Channel Youtube: Bumi Papua
Namun semuanya berubah ketika Diana mengabdi penuh dedikasi. Sejak Februari 2019 tanda-tanda perubahan semakin tampak nyata. Anak-anak sudah mulai fasih menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bahkan anak-anak sudah bisa menyanyikan lagu bahasa Inggris yang ia ajarkan walaupun masih penuh dengan keterbatasan. Beberapa anak tampak antusias menyanyikan lagu bahasa Indonesia: “ Siapa Rajin Bersekolah, Cari Ilmu Sampai Dapat. Sungguh Senang Amat Senang.” Mereka memang kelihatan senang bernyanyi sambil memainkan gerakan tangan. Senyum-senyum indah itu penuh harapan dan masa depan gemilang.
Pengabdian dalam Keterbatasan
Akses menuju sekolah yang harus ditempuh dengan perjalanan panjang dan biaya yang mahal menjadi tantangan yang kerap dikeluhkan para tenaga pengajar di pedalaman Mappi, Dok: Diana
Tahun 2021 Diana mendapatkan kontrak baru, ia melanjutkan pengabdian di Sekolah Dasar Negeri Atti, Kampung Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Perjalanan menuju kampung Atti sungguh luar biasa. Kondisi geografis yang sangat sulit dijangkau menjadi tantangan terbesar Diana untuk mengajar. SD Negeri Atti berada di tengah ladang. Diselang-selling hutan, dipenuhi rawa-rawa dan perairan. Dari Merauke membutuhkan waktu 9 jam untuk sampai di kampung Atti. Waktu 9 jam itupun jika naik pesawat dari Merauke ke Kabupaten Mappi. Perjalanan masih berlanjut lewat jalur darat menuju pelabuhan Agham sekitar 2 jam. Lalu menelusuri sungai Mappi menuju Khaumi di Kampung Atti. Sekitar 4 jam dengan naik perahu Ketinting.
Sampai di kampung Atti tak lantas langsung menginjakan kaki di sekolah. Jangan harap ada transportasi yang bisa membawa Diana dan rekannya sampai ke SD Negeri Atti. Mereka harus berjalan kaki selama 2 jam hingga sampai di Sekolah. Jika hanya menggunakan jalur darat langsung dari Merauke pastinya memakan waktu lebih lama, sekitar 23 jam.
Biaya perjalanan untuk menuju kampung Atti juga harus menguras isi dompet. Dari kampung tetangga (khaumi), Diana dan rekannya harus menyewa Ketinting. Biaya sewa dari kisaran 300 ribu rupiah bahkan sampai satu juta. Tergantung dari permintaan para pengemudi. Pengeluaran tidak sampai berhenti disitu saja, dari kota kabupaten menuju kampung mereka harus menggelontorkan biaya sewa mobil 400 ribu rupiah. Jika naik ojek mereka harus rela merogoh kocek 100 ribu per orang.
Senyum indah dari salah satu murid Diana yang sudah bisa berhitung, Dok: Diana
Akses menuju sekolah yang harus ditempuh dengan perjalanan panjang dan biaya yang mahal menjadi tantangan yang kerap dikeluhkan para tenaga pengajar. Bahkan SD Negeri Atti pernah tutup selama beberapa tahun karena sebagian besar guru tidak kembali ke sekolah dan memutuskan untuk angkat koper. Tapi bagi Diana ini adalah pengabdian, panggilan dari hati dan bukan masalah uang. Diana punya prinsip jika bekerja orientasinya adalah uang, tidak akan pernah cukup.
“ Jumlah siswa di SD negeri Atti sekitar 80 orang. Mereka belajar antusias dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana fasilitas yang tidak memadai. Semangat mereka untuk belajar sangat luar biasa. Kalau kita mau mengabdi di pedalaman, tergantung apakah kita mau melayani atau tidak. Dan itu harus benar-benar dalam hati. Kalau tidak, ketika kita menginjakan kaki disini pertama kali pasti ingin pergi dan tak mau kembali,” Ujar Diana saat dihubungi lewat pesan Instagram.
Semangat Anak-anak di pedalaman Mappi untuk belajar tetap menyala walaupun dengan fasilitas seadanya
Bukan hanya tenaga pengajar, siswa pun harus melalui perjalanan panjang untuk tiba di sekolah. Karena rumah mereka sangat jauh. Bahkan ada siswa yang masih tinggal di hutan. Dimana mereka membutuhkan waktu hingga 2 jam jalan kaki untuk tiba di sekolah. Disisi lain fasilitas seperti gedung, perlengkapan, hingga seragam sekolah jauh dari kata layak. Tak ada seragam merah putih seperti sekolah sekolah dasar di kota. Tak ada meja dan kursi belajar yang nyaman untuk anak-anak. Siswa datang dengan pakaian seadanya yang dikenakan sehari-hari dengan kaki telanjang.
Pertama kali menginjakan kaki di SD negeri Atti, Diana disambut sebuah gedung sekolah yang sangat memprihatinkan. Berbeda jauh dengan sekolah-sekolah di Indonesia bagian barat. Dari jumlah siswa kelas 1 sampai kelas 6 sebanyak 80 orang hanya ada guru 3 orang.Tidak ada sama sekali guru mata pelajaran. Setiap guru harus mengajar semua mata pelajaran, dan Diana mengajar di kelas 5 dan 6. Namun setelah Diana hadir keadaan perlahan mulai lebih baik. Siswa sudah mengenakan seragam ke sekolah, duduk manis dengan meja dan kursi.
Pondasi Permasalahan Pendidikan di Pedalaman Papua yang Sesungguhnya
Diana memperkenalkan anak-anak cara bermain tablet. Dok: Diana
Akar permasalahan dunia pendidikan di Pedalaman Papua sudah bergejolak dari masa ke masa. Tapi hingga kini belum ada solusi menyeluruh yang memberikan perubahan nyata. Jika ditanya sudah sejauh mana progress kualitas pendidikan di Papua saat ini? Jawabannya, tidak banyak perubahan yang bisa dibanggakan. Nyatanya berbagai keterbelakangan masih menjadi persoalan. Mulai dari akses dan fasilitas pendidikan yang masih jauh dari kata layak. Hingga ketersediaan tenaga pengajar yang masih sangat minim.
Mengacu pada data yang dipaparkan oleh pakar pendidikan Universitas Papua, Dr Agus Irianto Sumule bahwa lebih dari 244 ribu jenjang sekolah dasar di Papua tidak sekolah. 224 ribu di jenjang SMP dan 150 ribu di jenjang SMA. Dan total sebanyak 620.724 anak-anak di Papua tidak sekolah. Dan angka ini menyebar di berbagai wilayah Papua. Minimnya tenaga pengajar salah satu pemicu sumber masalah pendidikan di Papua yang tak kunjung mendapatkan jalan keluar. Agus mencatat seluruh Papua kekurangan 20 ribu guru. Dan setengahnya kekurangan guru di tingkat sekolah dasar. Bahkan banyak sekolah di pedalaman yang hanya memiliki satu guru dalam satu sekolah. Bagaimana bisa sebuah pendidikan maju dan berkembang jika tidak didukung dengan tenaga pengajar yang memadai.
Suasana ruangan kelas yang mulai tampak terlihat lebih layak setelah kehadiran Diana. Dok: Diana
Senada dengan yang disampaikan Diana. Selain fasilitas belajar dan akses yang susah dijangkau, minimnya tenaga pengajar adalah pondasi permasalahan pendidikan di Papua yang hingga saat ini belum bisa ditanggulangi. “ Kurangnya tenaga pengajar dan minimnya kesejahteraan guru salah satu sumber utama permasalahan dunia pendidikan di Papua,” ungkapnya. Bukan hanya itu, guru yang bertugas di pedalaman Papua tidak mendapatkan akses untuk meningkatkan kompetensi mengajar seperti pelatihan, seminar maupun pendidikan lanjutan. Seperti pengakuan Diana, akses ke kota yang susah membuatnya tidak pernah sama sekali mengikuti pelatihan kompetensi guru. “Saya belum pernah, karena transportasinya mahal dan aksesnya sulit serta jauh,” katanya.
Diana berharap bahwa kondisi sesungguhnya di pedalaman Mappi menjadi perhatian pemerintah khususnya menteri pendidikan. Dan berkunjung langsung ke lapangan. Sehingga tahu betul apa sebenarnya yang terjadi dan memberikan solusi berkelanjutan demi masa depan generasi Papua yang cemerlang. Selama ini banyak orang yang beranggapan jika anak-anak Papua itu terbelakang, padahal mereka hanya membutuhkan kesempatan. Kesempatan yang sama dengan anak-anak Indonesia di kota untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Jika mereka mendapatkan kesempatan belajar yang sama, mereka juga bisa cerdas dan sukses.
Mengembangkan Kurikulum Kontekstual, Beradaptasi Dengan Budaya dan Merubah Pola Pikir Masyarakat Lokal
Diana membuat kurikulum sendiri yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi sesungguhnya anak-anak pedalaman mappi. Dok: Diana
Diana Cristina tidak hanya sekedar datang ke sekolah untuk mengajar anak-anak di pedalaman Mappi. Namun, dia harus putar otak bagaimana cara beradaptasi dengan kurikulum sesuai dengan kemampuan dan keadaan siswa yang sesungguhnya. Sementara implementasi kurikulum merdeka di pedalaman menghadapi berbagai tantangan. Hal tersebut sudah dirasakan langsung Diana selama mengabdi di kabupaten Mappi. Tidak memungkinkan sebuah kurikulum yang sudah dirancang secara nasional diterapkan di daerah pedalaman. Dimana siswa masih mempelajari hal-hal dasar seperti membaca dan berhitung. Bahkan siswa kelas 6 masih banyak yang tidak tahu membaca dan menulis.
Lantas Diana tidak kehabisan akal. Dia membuat kurikulum sendiri yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi sesungguhnya anak-anak pedalaman mappi. Bahkan ia menulis tangan materi pelajaran untuk dibagikan kepada anak-anak. Ia mengganti metode pelajaran dengan cara yang jauh lebih sederhana dan menyenangkan, sehingga anak-anak mudah memahami materi. Metode belajar sambil bermain merupakan hal menyenangkan yang bisa anak-anak rasakan saat belajar.
Diana kerap mengajak anak-anak bermain dengan alam sambil belajar. Bermain di rawa-rawa sambil berhitung. Dok Diana
Diana kerap mengajak anak-anak bermain dengan alam sambil belajar. Bermain di rawa-rawa sambil berhitung. Memetik mangga sambil menghafal perkalian, hingga berdoa sebelum makan menggunakan bahasa Inggris. Cara belajar sederhana yang mengacu pada kurikulum kontekstual merupakan solusi terbaik dalam memecahkan akar permasalahan pendidikan di pedalaman papua. Melalui kurikulum kontekstual yang digagas Diana bersama rekannya sesama guru, pembelajaran dapat dilakukan dengan pendekatan sosial. Mereka melakukan sosialisasi kepada orang tua tentang pentingnya pendidikan. Dan materi pembelajaran juga disesuaikan dengan budaya dan kebiasaan masyarakat lokal. Dengan metode ini tentunya akan merubah sudut pandang maupun pola pikir mereka tentang pendidikan.
Bagi masyarakat Mappi pedalaman keberhasilan diukur ketika anak-anak mereka memiliki kemampuan untuk bertahan hidup. Dengan cara berburu di hutan, bisa mengolah sagu, bisa membawa tombak dan bisa memelihara babi. Bagi mereka keahlian tersebut merupakan indikator kesuksesan seorang anak. Banyak orang tua menganggap bahwa pendidikan bukan sesuatu hal penting untuk kehidupan anak-anak mereka. Anak-anak dituntut bekerja membantu orang tua untuk bisa bertahan hidup.
Diana melakukan edukasi dan pendekatan kepada orang tua murid tentang pentingnya pendidikan. Dok: Diana
Ketika tiba di pedalaman Mappi pertama kali, Diana berusaha untuk merubah pola pikir masyarakat tentang pendidikan. Hal ini sangat penting untuk mendapatkan dukungan dari orang tua murid. Karena tanpa dukungan orang tua proses belajar-mengajar akan terkendala. “Masyarakat di Mappi berpikir sangat sederhana, yakni yang penting bisa mencari makan, tanpa harus sekolah,”ujarnya.
Untuk menumpas keterbelakangan pendidikan di pedalaman Mappi Tak hanya melakukan gebrakan dalam kurikulum. Diana juga mendirikan perpustakaan yang ia beri nama, “ Merah Putih”. Perpustakaan sederhana tersebut memiliki lebih dari 500 buku. Dibuka setiap hari pukul empat sore. Mulai dari anak-anak, orang tua sampai dengan kepala suku datang ke perpustakaan untuk membaca buku. Anak-anak gemar membaca buku bertema Indonesia, seperti nasionalisme hingga cerita pahlawan. Namun anak-anak sering protes karena penjual pisang goreng di samping perpustakaan. Harga satu gorengan tiga ribu rupiah. Anak-anak kesal karena pisang mereka banyak di kebun, tapi yang mendapatkan uang adalah pendatang. “Anak-anak pernah mengatakan seperti ini kepada saya sambil menggerutu, pertanyaan mereka benar-benar membuat saya terharu: Ibu guru pisang goreng ni kenapa harus orang kulit putih ee yang jual, padahal kami pisang banyak sekali yg ditanam?” Cerita Diana.
“Karena kamu selama ini malas, coba kamu pikir kalau kamu jual pisang kasih ke orang orang kulit putih. Kalau mereka buat pisang goreng kamu beli lagi yang untung siapa? Lebih baik mari sini ibu ajar kamu buat pisang goreng supaya kamu tahu dan menghasilkan uang untuk beli buku”, jawab Diana berusaha memberikan pengertian. Anak-anak justru sudah bisa membuat pisang goreng, bahkan menjualnya di sekolah.
Secerca Harapan dan Perubahan
Diana bersama muridnya. Dok: Diana
“Ibu sa su cape ka begini terus saya mau naik pesawat kayak bapak bapak dorang di jakarta sana. Naik mobil mewah, sa tra pernah naik mobil Ibu guru, sa mau tidur di atas spon, Sa mau minum air bersih, Sa mau jadi orang hebat ibu,” kalimat sederhana tapi maknanya begitu mendalam terlontar dari siswa Diana Cristina. Mereka tampak sudah resah hidup dalam belenggu kemiskinan dan keterbelakangan.
Tidak banyak tenaga pengajar yang mengabdi sepenuh hati seperti Diana. Apa yang ia perjuangkan selama lebih 5 tahun untuk anak-anak pedalaman di Mappi perlahan membuahkan hasil. Ketika ia datang pertama kali ke kampung Atti hampir semua siswa buta huruf. Banyak siswa yang duduk di kelas enam tapi belum tau membaca. Sekarang lihat lah apa yang terjadi. Harapan itu semakin nyata. Pengabdian itu membuahkan hasil. Saat ini sudah banyak anak-anak yang bisa baca tulis. Dari 65 siswa, sekarang sudah ada 85 orang yang sekolah di SD negeri Atti. Bahkan tahun 2022, 24 siswa berhasil melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang SMP. Dan tahun ini ada 14 orang yang lanjut ke jenjang sekolah menengah pertama.
Anak-anak yang awalnya tidak mengetahui sama sekali dengan negara yang mereka tinggali kini sudah memiliki rasa nasionalisme yang mengakar. Mereka sudah tau bendera Indonesia, sudah fasih bernyanyi menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan mereka bisa menyanyikan lagu bahasa Inggris. Siswa yang dulunya datang ke sekolah mengenakan pakaian sehari-hari tanpa alas kaki, kini sudah memiliki seragam sekolah. Gedung sekolah yang dulunya tak memiliki kursi dan meja, kini anak-anak sudah bisa duduk manis belajar dengan tenang.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi, Diana juga memperkenalkan digital justice kepada anak-anak pedalaman Mappi. Ia mengajari anak-anak cara main tablet dan mencari informasi terkini melalui internet. Dimana dengan adanya pengenalan digitalisasi, bisa memberikan keadilan yang merata kepada anak-anak pedalaman untuk bisa merasakan perkembangan teknologi. Gerakan ini merupakan upaya dan komitmen Diana dalam memberantas keterbelakangan di pedalaman Papua.
Diana memperkenalkan digital justice kepada anak-anak pedalaman Mappi. Dok: Diana
Dan satu hal terpenting adalah, Diana dan rekannya sesama guru berhasil menyakinkan para orang tua bahwa pendidikan memiliki peran penting untuk merubah kehidupan mereka. Para orang tua sudah mulai percaya bahwa pendidikan adalah tiket untuk keluar dari kemiskinan. “Cukup mace dan pace saja ke hutan, anak dorang dengan kita belajar supaya besok besok mereka bisa beli beras kasih pace dorang makan ka,” ujar Diana memberikan wejangan kepada orang tua, agar anak-anak mereka fokus belajar dan sekolah. Ketika suatu saat anak-anak sudah berhasil, mereka bisa beli beras kasih orang tua makan.
Perubahan ini menjadi cambuk bagi Diana untuk terus mengabdi di pedalaman Papua, demi menumpas keterbelakangan dan kebodohan. Sehingga generasi Papua dapat tumbuh menjadi sosok yang cerdas, membangun kembali tempat tinggal dan warisan leluhur mereka yang masih jauh tertinggal.
Apresiasi Untuk Sang Pengabdi
Diana saat mendapat penghargaan Satu Awrds 2023 bidang pendidikan. Dok: Diana
“Penghargaan ini sebagai Langkah awal bagi saya dan rekan rekan saya untuk lebih giat lagi mau tinggal di pedalaman. Dan sebenarnya saya rasa sampai saat ini adalah luar biasa. Pedalaman itu membuat saya sadar bahwa berbagi itu tidak selamanya hanya dari kelebihan. Tetapi dari kekurangan itu sendiri kita bisa berbagi,” ungkap Diana dalam acara puncak Astra Satu Awards 2023.
Bagi Diana mengabdi sepenuh hati untuk anak-anak Papua adalah harga mati. Perjuangannya tidak akan pernah surut sampai titik nadi berhenti. Bahkan Tunjangan Profesi Guru (TPG) dan Tunjangan Khusus Guru (TKG) ia gunakan untuk membantu murid mendapatkan buku, perlengkapan sekolah dan seragam siswa. Karena ia memiliki prinsip: jika bekerja tujuannya adalah untuk mengabdi dengan tulus, semua akan terasa cukup. Tapi jika bekerja tujuannya adalah untuk uang, tidak akan pernah merasa cukup.
Perjuangan Diana Cristina kini mendapat perhatian. Tahun 2023 ia meraih penghargaan dari ASTRA bertajuk SATU Indonesia Awards di bidang pendidikan. Penghargaan ini merupakan bentuk rasa hormat ASTRA untuk para anak bangsa yang menginspirasi melalui kontribusi yang berdampak kepada masyarakat. Apresiasi tersebut menjadi kekuatan baru bagi Diana Cristina, untuk terus mengabdi dengan sepenuh hati. Memberikan secercah harapan kepada anak-anak Papua.
Penghargaan ini sekaligus menghantarkan sosok Diana Cristina menjadi pahlawan pendidikan yang berjuang tanpa pamrih walau dihadang banyak tantangan. Melalui penghargaan Satu Indonesia Awards kisah anak-anak Papua pedalaman bukan lagi sekedar cerita klasik yang dilupakan. Namun kini sudah menjadi cerita yang mendapatkan perhatian. Sehingga membuka lebih banyak gerakan bersinergi untuk mengatasi keterbelakangan dan kebodohan di bumi Papua. Pendidikan adalah jalan untuk menghantarkan anak-anak pedalaman menuju impian, sekaligus menjawab semua permasalahan di ranah Papua.
Diana tak bisa berjalan sendirian. Ia butuh dukungan dan bantuan. Dia butuh lebih banyak tenaga pengajar yang bertekad untuk mengabdi di pedalaman Papua. Mengabdi sepenuh hati, dengan berbagai situasi dan kondisi. Dan pemerintah harus serius untuk mencetak guru-guru profesional yang bersedia ditempatkan di pedalaman. Bagaimana pun juga guru adalah tulang punggung untuk memajukan pendidikan suatu bangsa. Diana juga butuh dukungan dari pemerintah khususnya kementerian pendidikan. Dukungan berupa fasilitas, infrastruktur hingga sarana dan prasarana sekolah yang memadai. Memberikan kemudahan bagi guru di pedalaman untuk mendapatkan pelatihan kompetensi. Sehingga mereka mendapatkan lebih banyak ilmu yang bisa dibagikan kepada anak-anak pedalaman.
Perjuangan belum usai, saatnya anak-anak Papua pedalaman meraih mimpi yang terbengkalai . Satu kalimat Diana Cristina yang paling menyentuh adalah: Saya Percaya Ketika Seorang Guru Bekerja Dengan Niat Baik, Leluhur Dan Nenek Moyang Papua Merestui. Bahkan Tuhan Melihat Semua Ketulusan Kita Maka Diberkati Semua Usaha Kita,” sebuah kalimat indah penuh makna.
Teruslah berjuang nona dari ujung timur Indonesia. Kamulah pahlawan yang sesungguhnya. Pengabdianmu akan menjadi warisan yang akan terus dikenang anak-anak Papua. Kelak akan lahir insan-insan cendekia, menghantarkan Papua menuju jaya dan sejahtera.
Refrensi:
1. Wawancara dengan Diana Cristina Melalui Pesan Instagram
2. https://puslapdik.kemdikbud.go.id/
3. https://www.youtube.com/watch?v=ClFX2LNhgB0
4. Instagram Diana Cristina
5. https://www.youtube.com/@dianacristianadacostaati4664
6. https://papuasatu.com/peristiwa/gadis-cantik-asli-timor-leste-tunjukan-pengabdiannya-di-daerah-pedalaman-papua-sebagai-guru-